ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG,- Pemerintah Provinsi Jawa Barat sedang mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menempatkan pengelolaan kekayaan daerah sebagai salah satu pilar strategi fiskal.
Politisi PKS Jabar, H Jajang Rohana menilai, optimalisasi aset dan pengembangan skema bisnis berbasis kekayaan daerah menjadi langkah penting untuk menutup defisit pendanaan pembangunan sekaligus memperkuat kemandirian fiskal provinsi.
Dalam dokumen peraturan daerah dan kebijakan pengelolaan keuangan, kewenangan serta aturan tekhnis pengelolaan kekayaan daerah sudah diatur untuk memberi payung hukum bagi langkah-langkah tersebut,”ungkap Jajang Rohana.
Ketua Komisi 3 DPRD Jabar ini, dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menjadi landasan bagi pemerintah daerah untuk melakukan penataan, pemanfaatan, dan pengawasan aset-aset milik daerah. Jsjang menegaskan, payung hukum itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan operasional yang konkret agar aset tidak hanya tercatat sebagai angka di laporan, tetapi juga menghasilkan manfaat ekonomi.
Lanjut Jajang, menjelaskan beberapa strategi prioritas yang menurutnya dapat meningkatkan kontribusi pengelolaan kekayaan daerah terhadap PAD. Pertama, pendataan dan revaluasi aset secara menyeluruh.
“Kita belum maksimal mengetahui potensi penuh aset milik provinsi — baik lahan, bangunan, maupun hak pengelolaan — sehingga revaluasi dan inventarisasi menjadi langkah awal yang tidak bisa ditawar,” ujar politisi PKS Jabar, H Jajang Rohana.
Kedua, Jajang mendorong digitalisasi manajemen aset. Dengan sistem informasi aset yang terintegrasi, pemerintah provinsi dapat memetakan aset idle atau kurang produktif untuk kemudian dialihkan menjadi sumber pendapatan — misalnya melalui sewa, kerja sama pemanfaatan (kontrak kemitraan), atau pengembangan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
“Pengalaman beberapa daerah menunjukkan bahwa tata kelola aset yang berbasis data memudahkan penagihan, pemantauan, dan pengawasan sehingga risiko kebocoran pendapatan dapat diminimalisir,” katanya.
Ketiga, penguatan BUMD dan BLUD sebagai kendaraan bisnis daerah. Heri menekankan perlunya transformasi BUMD dari sekadar alat administratif menjadi unit usaha yang kompetitif, berorientasi pelayanan dan profit, serta berjejaring dengan investor swasta dalam pola public–private partnership (PPP).
“Melalui skema ini, aset daerah yang selama ini kurang termanfaatkan dapat dikembangkan menjadi proyek produktif—misalnya kawasan ekonomi, lahan parkir komersial, atau pembangunan fasilitas publik yang dikelola secara bisnis,” ungkapnya.
Selain pemanfaatan aset, Jajang juga menyoroti pentingnya meningkatkan penerimaan dari sektor pajak dan retribusi daerah melalui reformasi administrasi dan penegakan aturan. Menurut data pemerintah provinsi, pajak daerah dan retribusi merupakan komponen signifikan dalam struktur PAD Provinsi Jawa Barat; namun terdapat potensi tambahan yang belum tergarap akibat basis data wajib pajak yang belum sepenuhnya akurat dan praktik pemungutan yang belum optimal.
Oleh sebab itu, sinergi antar OPD (Organisasi Perangkat Daerah), pemutakhiran data, serta penguatan kapasitas pengawasan dipandang sebagai langkah simultan yang perlu dilakukan.
Anggota fraksi PKS Jabar, Jajang Rohana menambahkan bahwa transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat utama agar strategi pengelolaan kekayaan daerah mendapat dukungan publik serta mengurangi celah korupsi. Komisi 3, ujarnya, aktif mendorong audit berkala, penyusunan laporan kinerja aset yang publik, serta mekanisme whistleblowing terhadap praktik penyalahgunaan aset.
“Tanpa transparansi, usaha meningkatkan PAD lewat kekayaan daerah justru berisiko menimbulkan persoalan hukum dan kehilangan kepercayaan rakyat,” katanya.
Data statistik keuangan daerah memperlihatkan bahwa besaran PAD Provinsi Jawa Barat masih memiliki ruang perbaikan. Dashboard keuangan Pemprov mencatat PAD sebagai bagian penting dari total pendapatan, namun pencapaian realisasi dan komposisi penerimaan menunjukkan kebutuhan strategi jangka menengah untuk meningkatkan kontribusi PAD terhadap total anggaran. Heri menilai, target-target PAD harus realistis dan disertai indikator pengukuran performa yang jelas agar implementasi kebijakan lebih fokus.
Tantangan yang dihadapi, menurut Jajang bukan hanya teknis — seperti pemetaan dan digitalisasi — tetapi juga politik dan regulasi.
“Perubahan regulasi nasional, pembagian kewenangan antar level pemerintahan, serta dinamika kebutuhan daerah berpengaruh pada kepastian hukum pemanfaatan asset,” ujarnya.
Oleh karena itu, Jajang memandang penting adanya koordinasi intensif antara DPRD, eksekutif provinsi, kementerian/lembaga terkait, serta kabupaten/kota untuk menyusun kebijakan yang sinergis dan menguntungkan semua pihak. **












