JAKARTA,– Ketua Umum Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) DR Tengku Murphi Nusmir SH, MH, dalam sebuah tulusan bertajuk Kaleidoskop 2019 Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) menuliskan, setiap negara dan bangsa dalam perjalanannya mengalami pasang surut dari berbagai aspek yang dijalankan, baik aspek sosial, ekonomi, politik dan hukum, keamanan serta budaya.
“Indonesia memiliki jumlah penduduk keempat terbesar di dunia dengan jumlah penduduk 266,91 jiwa. Berdasarkan data Dirjen Pemerintahan Umum Kemendagri yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik, Indonesia memiliki 17.504 pulau dari 32 Provinsi dan dengan luas wilayah 1.91 juta km 2. Indonesia juga memiliki beragam kultur bahasa, budaya, adat istiadat, suku/ras. Ini lah yang menjadikan Indonesia negara besar,” ujarnya kepada patrolicyber.com, Minggu (28/12/2019).
Dijelaskan, Pancasila adalah Ideologi bangsa sekaligus pandangan hidup, alat pemersatu dari perbedaan multi cultural sebagai landasan Idiil dan UUD 45 sebagai konstitusi sebagai dasar hukum Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.
“Oleh sebab itu, Indonesia adalah negara hukum, yang meletakkan Supremacy of Law atau Supremasi Hukum di atas segala-galanya,” kata dia.
Indonesia sejak tahun 1955-2019 telah mengalami 12 kali pemilu dan dipimpin tujuh presiden dari hasil pemilihan umum. Terakhir, Pemilu diselenggarakan tahun 2019 dengan Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai Presiden dan KH.Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presidennya.
“Kemudian kami, PPHI dalam kaleidoskop ini tidak menilai Indonesia menghitung dengan cara mundur. Menjelang akhir tahun 2019, PPHI bermaksud menyampaikan pandangan tentang pelaksanaan hukum dan penegakan hukum selama tahun 2019,” sambung Murphi.
“Oleh karena pandangan kami terhadap sektor hukum yang berhubungan dengan kebijakan, penyelenggaraan dan pelaksanaan hukum secara bottom up top down dan komprehensif, maka padangan dan penilaian kami secara korelatif tidak kami pisahkan dengan kondisional, termasuk pemerintah sebagai kekuasaan eksekutif, sebagai pelaksana UU tidak lepas menjadi sorotan kami,” tambahnya.
Untuk itu, kata dia, pandangan dan penilaian PPHI terhadap pembangunan dan kebijakan hukum sangat terkait juga dengan penyelenggaraan dan kebijakan sebelum atau Pra Pemilu 2019.
Disebutkan, hal yang menjadi sumber dan pembanding pandangan PPHI adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Pemilihan Umum dan Pemilhan Presiden dan Wakil Presiden 2019 adalah sebagai amanat pasal 22 ayat(2) UUD 45 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi “pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden wakil Presiden”, yang kemudian berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No;14/PUU-XI/2013, tentang Pemilu sebagaimna dimaksud dalam pasal 22 UUD 45 menjadi ‘Pemilihan di Indonesia agar pemilihan umum Legislatif, Presiden dan Wakl Presiden dilaksanakan secara serentak.
2. Bahwa terhadap putusan MK tersebut pada 20 Juli 2017 disahkanlah UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
3. Bahwa Pemilihan Umum 2019 cukup banyak mendapat perhatian.masyarakat dalam maupun Internasional karenan Pemilu 2019 dianggap yang paling rumit di dunia.
“Kerumitan yang dimaksud tentu tentang pelaksanaan regulasi UU Pemilu yang mengaturnya di masyarkat berdasarkan Asas LUBER, yaitu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia. Lantas, Apakah asas Pemilu 2019 dapat dipedomani sepenuhnya dalam tataran Pemilu serentak di Indonesia?” ujarnya.
Kemudian poin 4, bahwa yang menjadi fundamental perhatian dalam pemilihan umum ketika rekapitulasi atau perhitungan suara dalam Pilpres yang diduga terjadi kecurangan dan dicurugai praktek main mata petugas pemliu saat pemberian suara, sampai kepada proses rekapitulasi yang mengakibatkan beberapa aksi ketidakpuasan karena dianggap telah terjadi praktek kecurangan. Banyak jatuh korban dari petugas keamanan dan bahkan ditangkap dengan dalih “Makar”.
“Sebagai negara hukum dan demokrasi, pengalaman yang lampau dalam Pemilu 2019, PPHI menilai penegakan hukum dalam Pemilu sangat mengecewakan. Pemilu sebagai sebuah demokrasi seharusnya, menepikan tindkan represif kepada sejumlah kelompok masyarakat yang menyampaikan ketidakpuasannya oleh karena aksi penyampaian pendapat berimplikasi pidana, sebagaimana yang diatur pasal 55 UU No 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, dimana setiap orang dengan sengaja membuat informasi publik yang tidak benar atau menyesatkan diancam pidana,” jelasnya.
“Ucapan desa fiktif disampaikan oleh Sri Mulyani di depan publik. Tetapi sampai saat ini di mana letak desa fiktif dan siapa pelaku tersebut, PPHI meminta mereka yang diduga melakukan untuk mempertanggungjawaban perbuatannya,” sambungnya.
Selain itu, kata Murphi, menjelang akhir tahun 2019, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan terjadinya dugaan korupsi di Asuransi Jiwasraya. Salah satu anak cabang BUMN itu dihangatkan kasus dugaan korupsi dengan angka yang fantastis, yakni sekitar Rp 13,7 triliun.
“Ini kali terbesar uang negara dikeruk setelah BLBI dan Century, dimana sampai saat ini belum tertuntaskan. Anehnya, upaya pemerintah terhadap kasus mega korupsi BLBI dan Bank Century, tidak menjadi perhatian serius untuk mentuntaskannya.”
“PPHI meminta kasus dugaan korupsi di Asuransi Jiwasraya tidak bernasib sama dengan kasus mega korupsi lain yang tidak tertuntaskan,” tegasnya.
Seiring sedang aktualnya masyarakat memberi perhatian terhadap kasus mega korupsi di Asuransi Jiwasraya, masyarakat dikejutkan lagi dengan tertangkapnya dua orang yang diduga pelaku penyiram air keras kepada penyidik senior KPK Novel Baswedan (NB).
Kasus NB yang terus dimintakan masyarakat kepada pemerintah agar segera menemukan pelaku yang sudah sekian lama tak kunjung juga tertangkap, pada 27 Desember 2019 Polri berhasil menangkap dua pelaku yang digadang-gadang adalah oknum Polri (Brimob).
Sejumlah pemerhati dan pengamat hukum, atas penangkapan itu meragukan keberhasilan Polri menangkap dua oknum diduga pelaku penyiram air keras kepada Novel Bawesdan, yang digadang-gadang sebagai pengalihan isu terhadap kasus mega korupsi PT Asuransi Jiwassaya semata.
“Kami PPHI mengapresiasi keberhasilan Polri yang berusaha menemukan pelaku kekerasan kepada NB. Namun PPHI meminta agar supaya Polri konsisten dan menindak siapa saja jika kasus terhadap NB merupakan skenario Grand Design yang memang sudah direncanakan oleh pihak-pihak tertentu ataupun elite politik yang terlibat, Polri tidak segan dan harus adil menegakkan hukum yang berlaku dan.menyeret siapa saja,” kata dia.
Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) sejak kelahirannya pada tanggal 16 Desember 2016 sebagai organisasi masyarkat pada bulan Desember tahun 2019 genap berdiri tiga tahun, saat ini telah berdiri 12 DPD Provinsi, 9 DPD kabupaten, 2 DPD Kota di Indonesia.
Pada peringatan kelahiran ketiga tahun, PPHI sebagai organisasi nasyarkat yang berorientasi terhadap persoalan hukum di masyarkat, meminta kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, agar senantiasa melaksanakan tugas-tugasnya selaku Presiden, mendorong KPK mentutaskan kasus korupsi BLBI, Bank Century, Asuransi Jiwasraya dengan mempertimbangkan perasaan keadilan di masyarakat.
Dalam pandangan lain, PPHI mendukung upaya serius dan sungguh-sungguh pada tahun 2020 pemberantasan korupsi dilakukan pemerintah dengan semangat keadilan dan menjujung supremasi hukum dalam mengatasi dan memerangi semua bentuk pelanggaran hukum, dengan berpedoman bahwa hukum di atas segala-galanya, sebagaimana landasan negara NKRI sebagai Negara Hukum .
Selain itu, Revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019, menjadi polemik pelemahan tugas KPK di antaranya:
1. KPK sebagai lembaga negara dimasukkan ke ranah eksekutif, sehingga sebagai ASN pegawai KPK yang melawan arus Pimpinan rawan untuk dimutasi.
2. Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, karena mempunyai kewenangan tekhnis yaitu memberikan atau tidak memberikan ijin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
3.Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum, sehingga beresiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
“Masih banyak lagi pelemahan-pelemahan KPK lainnya, sehingga oleh masyarakat dipandang tidak segarang periode-periode sebelumnya dan hanya dijadikan alat politik penguasa,” katanya.
Ketum PPHI dalam menyikapi satu tahun dengan terpilihnya kali kedua Presiden Jokowi menjadi orang nomor satu di Indonesia, telah berjanji kembali akan memprioritaskan tentang penegakan hukum tanpa pandang bulu.
“Apakah dengan rerbongkarnya penyiram air keras kepada NB hampir tiga tahun merupakan keberhasilan dalam penegakan hukum? Bagaimana dengan dugaan tindak pidana korupsi di Jiwasraya, yang mempunyai nilai sangat fantastis bisa terkuak. Apakah ada kekuatan politik yg bermain. Lalu bagaimana dengan janji presiden yang harus direalisasikan,” ujarnya. (bn)