KAB. BANDUNG,– Penanganan kasus dugaan penganiayaan anak dibawah umur oleh oknum kepala sekolah dinilai lamban. Kasusnya dilimpahkan dari Polsek Ciparay ke Polresta Bandung.
Diketahui sebelumnya, sejulmah siswa di Madrasah Ibtidaiyah Terpadu Al Gozali, Desa Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung itu diduga menjadi korban kekerasan oknum kepala sekolahnya, Ahmad.
Kasusnya ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Bandung. Para siswa yang menjadi korban sudah dimintai keterangan saksi, didampingi oleh pengacara mereka.
Kepada orangtuanya, beberapa siswa mengaku ditampar pipinya oleh oknum kepsek hanya karena hal sepele, bahkan tidak jelas alasannya.
Menurut informasi, awalnya Ahmad mengaku telah kehilangan uang. Ia menuduh yang mengambil uang adalah muridnya berinisial O dan Z. Uang itu kemudian dibagi-bagikan kepada siswa lain termasuk H.
Namun H yang akan diberi uang sempat menolak dan mengembalikannya.
Orangtua korban mengatakan, Ahmad menuduh jika ini kasus pencurian. Ketika masaah itu selesai, Ahmad mempersoalkan hilangnya sebuah martil, besoknya tangga 19 Juni 2024 orangtua korban kompak mencarinya.
Orangtua korban mengira jika masalah ini sudah selesai dan mereka pulang ke rumah.
Lalu pada tanggal 19 Juni 2024, ibu H mengira di sekolah biasa saja. Ternyata H pulang sekolah dengan diantar ketua RT dengan kondisi pipi merah bengkak sedangkan orangtuanya mengambil tas H di sekolah.
“Saat pagi hari menyiapkan tas sekolah, saya lihat wajah atau pipi H lebam. Saya tanya anak saya dan mengaku ditampar pak Ahmad berapa kali. H mengaku dituduh menghilangkan palu martil. Padahal disitu ada pegawai Ahmad yang sedang membangun. Harusnya Ahmad tanya sama pekerka bangunan jangan asal nuduh sama anak kecil,” papar orangtua H, Rabu (6/11).
Sejumlah anak juga mengaku hal sama, bahwa pada 19 Juni 2024 H diseret dan dibawa ke kamar mandi oleh Ahmad dan terjadilah penamparan.
Di sana, kata orangtua, Ahmad memarahi anak-anak dengan kalimat “Rek neangan martil atawa rek dicabok” (Mau cari martil atau mau digampar”, sontak anak-anak mengatakan akan mencari martil.
“Saat itu, anak saya malah ditampar tiga kali. Sedangkan temannya O dan z dicekik dan ditampar juga. Malam harinya saat saya masuk ke kamar, H menutup wajahnya tak seperti biasa,” jelas orangtua H.
Keesokan harinya, tambah orangtua, H kembali disuruh mencari palu martil hingga ke kebun salak sampai sampai nangis. Di sana H disuruh pulang oleh warga sekitar kebun. H akhirnya diam di sebuah pos hingga pulang diantar ketua RT.
“Atas kejadian ini, saya melaporkan kepada babinsa, pak lurah, juga Polsek Ciparay. Kemudian saya disuruh melakukan visum, namun hasilnya tidak bisa dibawa kami,” jelasnya.
Ia menuturkan, karena petugas kepolisan menyatakan di Polsek Ciparay tidak ada unit PPA, ia diarahkan untuk membuat laporan ke Polresta Bandung dan memeriksa ke Rumah Sakit Otoiskandar Dinata Soreang.
“Sementara saya tidak mau damai, namun saya mempertanyakan kepana penanganan kasus ini seolah lambat, sampai sekarang belum ada titik terang,”tandas ibu H, berinisial IY itu. (Abah Abadi)