TANAH BUMBU, – Sejak pagi buta, pelabuhan Desa Muara Pagatan, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu, tampak ramai. Perahu-perahu nelayan merapat membawa busket penuh ubur-ubur hasil tangkapan.
“Kalau lagi musim bisa empat ratus busket sekali turun ke laut,” kata Ansar, pemuda yang membantu ayahnya menurunkan tangkapan.
Ubur-ubur dari perahu langsung diangkut ke arah papan seluncuran menuju bak penampungan berkapasitas tiga ton.
“Satu busket rata-rata isinya 30 kilo. Dari sini langsung kami taburi tawas, didiamkan dulu dua hari biar awet,” jelas Acil Kanah atau biasa disapa Mama Anggi, salah satu pekerja senior di lokasi.
Setelah dua hari, proses berlanjut dengan pencampuran garam dan tawas.
“Ubur-uburnya diputar pakai mesin blending tiga sampai empat jam. Kalau kurang lama, kualitasnya bisa turun. Saya biasanya nungguin sampai selesai, baru bisa makan,” ujar Isam, pemuda yang menjaga mesin.
Mama Anggi menambahkan, bahwa setelah itu dipindah lagi ke bak lain, ditambah garam lagi, lalu didiamkan tiga hari.
“Proses ini berulang sampai lebih dari sepuluh hari. Sabar itu kuncinya, kalau buru-buru hasilnya tidak bisa diekspor,” tambahnya.
Di sudut gudang, ibu-ibu sibuk memilah kepala dan kaki ubur-ubur. Hikmah berkata, kalau bagian kakinya lebih murah, tapi tetap ada yang beli.
“Kerja kami telaten saja, yang penting bersih,” kata Lawiyah menimpali.
Mama Anggi juga tak bosan mengingatkan pentingnya kualitas.
“Kalau kotor sedikit saja, eksportir bisa menolak. Makanya di sini semua harus rapi dan bersih sebelum dimasukkan ke box packing,” katanya.
Box itu nantinya dikirim lewat Banjarmasin dan Surabaya menuju Jepang, Korea, hingga Cina.
Sementara itu, Ikbal, pemuda yang membantu angkat busket, menyinggung soal harga.
“Nelayan jualnya Rp13 ribu sampai Rp14 ribu per kilo. Setelah dikemas untuk ekspor bisa Rp25 ribu sampai Rp30 ribu. Beda jauh, tapi kami di sini yang penting ada kerjaan,” ujarnya.
Anak-anak sekolah juga tak mau ketinggalan. Saat libur Sabtu dan Minggu, mereka ikut membantu proses pengolahan.
“Lumayan bisa dapat Rp100 ribu sampai Rp150 ribu sehari. Bisa buat jajan atau bantu orang tua,” kata Abdul sambil tertawa.
Selain bekerja di pengolahan, Mama Anggi juga punya cara lain mencari rezeki.
“Kalau lagi istirahat, saya siapkan teh, kopi, sama gorengan buat kawan-kawan. Harganya seribuan saja, biar mereka segar lagi kerja,” ujarnya sambil menuangkan minuman panas.
Ikbal yang duduk di dekatnya menimpali, kalau tidak ada Mama Anggi, kami susah juga. Kerja lama begini perlu ada yang jual minum.
Beberapa pekerja lain pun tampak antre membeli gorengan sederhana buatan Mama Anggi.
Bagi warga Muara Pagatan, musim ubur-ubur selalu jadi berkah.
“Semua orang bisa ikut merasakan. Ada yang nelayan, ada yang pengolah, ada yang dagang juga. Dari ubur-ubur inilah dapur kami tetap berasap,” ucap Mama Anggi menutup perbincangan. (Ag)












