ADHIKARYA PARLEMEN
BANDUNG, — Sektor kehutanan di Jawa Barat memiliki potensi besar untuk mendukung pendapatan asli daerah (PAD) dan pembangunan berkelanjutan.
Namun, hingga kini kontribusi sektor ini menurut Ketua Komisi 3 DPRD Jawa Barat, Jajang Rohana, masih belum maksimal. Sehingga menurutnya diperlukan strategi pengelolaan yang lebih progresif dan berkelanjutan untuk menggali potensi kehutanan secara optimal.
Menurut Politisi Partai Keadilan Sejahtera Jawa Barat, sektor kehutanan Jawa Barat tidak hanya menyimpan nilai ekonomi dalam bentuk kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK), tetapi juga potensi ekowisata, jasa lingkungan, dan fungsi ekologis yang bernilai tinggi.
“Kita punya kawasan hutan produksi, hutan lindung, hingga hutan konservasi yang menyebar di berbagai kabupaten. Potensinya besar, tapi belum dimanfaatkan secara efisien dan berkeadilan,” ujar Jajang.
Jawa Barat memiliki lebih dari 800.000 hektare kawasan hutan yang tersebar di wilayah seperti Garut, Sukabumi, Tasikmalaya, Cianjur, dan Bandung Barat. Hutan produksi milik Perum Perhutani masih menjadi sumber utama penerimaan sektor kehutanan, namun kontribusinya terhadap PAD masih rendah.
Data Dinas Kehutanan Jabar menunjukkan bahwa pendapatan dari sektor ini masih didominasi oleh bagi hasil pengelolaan kayu dan HHBK seperti getah pinus, bambu, dan madu hutan.
Jajang menekankan bahwa sektor kehutanan semestinya tidak dipandang sempit. Pemanfaatan jasa lingkungan, seperti pembayaran jasa air (PES/PSA), penyerapan karbon, serta wisata alam berbasis hutan, bisa memberikan tambahan signifikan terhadap PAD.
“Kita harus mulai menghitung nilai ekonomi dari oksigen, air, dan keindahan alam yang diciptakan oleh kawasan hutan. Jangan cuma lihat dari volume kayu yang ditebang,” tegasnya.
Meski potensinya besar, pengelolaan sektor kehutanan dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai dari perambahan liar, konflik lahan, hingga rendahnya koordinasi antara pemerintah daerah dengan instansi pusat seperti Perhutani, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.
Menurut Jajang, sebagian besar lahan hutan di Jabar berstatus kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani. Akibatnya, pemerintah daerah tidak memiliki keleluasaan untuk mengambil kebijakan yang dapat langsung meningkatkan PAD dari sektor tersebut.
“Daerah tidak bisa mengoptimalkan kawasan hutan karena status lahan dikuasai pusat. Ini harus dicarikan jalan keluar secara regulatif,” katanya. **